Awalnya adalah sebuah bunyi. Atau orang
biasanya menyebut sebagai suara. Selanjutnya dikuantifikasi sebagai kata. Dari
kata menjadi kalimat. Darinyalah kemudian terjalin sebuah komunikasi. Ada
sumber, ada media, ada penerimanya. Tapi, begitu dibarengi intonasi, tekanan
bunyi, gaya dan situasi yang menyertainya, maknanya bisa lain. Tergantung
kuping menyimak, suasana hati dan persepsi yang dibangun. Kita bisa tersinggung
dan sakit hati, atau bisa pula membenarkan dan menikmatinya. Begitulah hidup,
penuh irama keinginan dan kemauan.
Ambil contoh kata njomplang, misalnya.
Artinya berat sebelah atau tak seimbang. Kata ini biasa terkait dengan masalah
timbangan. Kemudian berkembang secara luas untuk keadaan atau situasi yang
timpang. Kala melihat pasangan suami - istri, suaminya ganteng, istrinya gak
cantik (jelek), langsung dibilang jomplang. Melihat rumah bagus, tetapi
penghuninya lusuh, dibilang jomplang. Itulah logika manusia. Terus berkembang,
mengikuti empunya untuk mengatakan sebuah ketidakpantasan. Di sudut kehidupan
yang lain, lebih banyak lagi jomplang ini.
Disuruh nimbang beras untuk rakyat
miskin malah disunat. Jatah 20 kilogram ditilap tinggal 15 kilogram. Itu baru
tingkat teri. Alasannya ongkos kirim. Yang bernilai milyaran lain lagi. Lebih
halus mainnya. Tak usah tunai, tapi lewat bank dengan pinjam nama orang lain. Ndakik,
penuh akal-akalan. Perilaku pejabat yang lain, beda lagi. Bergaji Rp
2 – 3 juta, tapi ke kantor naik mobil pribadi. Telepon genggamnya pun ada dua,
plus iPad. Satu untuk urusan dinas, satunya lagi dipakai khusus ber-asereje,
tak peduli duit negara. Njomplang nuraninya.
Banyak lho, yang berpikir mumpung punya
kesempatan. Ambil contoh di DPR beberapa waktu yang lalu. Sementara banyak
warga hidup prihatin, di bawah garis keimiskinan, orang – orang terhormat itu
berencana merenovasi toilet seharga 2 milyar. Jika dihitung per unit, jatuhnya
1 toilet seharga Rp 100 jutaan. Lebih jomplang lagi ternyata harga toilet lebih
murah daripada harga sebuah kalender. Para wakil rakyat yang hebat – hebat itu,
mencetak kalender dengan harga ratusan ribu rupiah. Tepatnya berkisar di angka
Rp 116 ribu per kalender. Total Rp 1,3 M. Mending fotonya berisi potret
keberhasilan. Isinya cuma foto - foto ketua dan wakil ketua DPR saja.
Banggarnya pun tak mau kalah, menyulap ruang sidang dengan nilai yang mengejutkan.
BURT DPR itu menganggarkan renovasi ruang sidang sebesar Rp 20 M. Apa benar hal
itu dibutuhkan? Apa benar sebegitu mahalnya? Atau hanya akal-akalan? Benar –
benar potret kehidupan yang sungguh njomplang. Tak bisa dimengerti akal sehat.
Artinya memang banyak yang tidak waras, sehingga keadaan ini bisa berjalan.
Inilah penyakit zaman, kata sebagian
orang. Kenapa? Karena bisa menular. Layaknya sebuah penyakit sebenarnya. Dari
satu ke yang lainnya. Yang lain lagi bilang; jaman edan. Dan tak salah, Kanjeng
Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan; ”Kalian akan mengikuti jejak
langkah umat – umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi
sehasta, sehingga jikalau mereka masuk ke lobang biawakpun, kalian akan
mengikuti mereka.” (Rowahu Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri ra.) Jadi
tidak usah heran , jika kondisi seperti ini hampir ada di semua lini. Gak di
pusat gak di daerah. Sami mawon. Sebab kondisi yang memang njomplang.
Dari Abu Huroiroh ra, dia berkata;
”Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,
”Umatku akan ditimpa penyakit – penyakit yang pernah menimpa umat – umat
dahulu.” Sahabat bertanya; ”Apakah penyakit-penyakit umat –umat terdahulu itu?”
Nabi SAW menjawab; ”Penyakit – penyakit itu ialah terlalu pongah (sombong),
terlalu mewah, mengumpulkan harta sebanyak mungkin, tipu – menipu dalam merebut
harta benda dunia, saling memarahi, dengki – mendengki sehingga jadi dholim –
mendholimi.”
(Rowahu Hakim)
Alih – alih mengarahkan telunjuk
keluar, alangkah baiknya kita berkaca dengan seksama. Jangan – jangan kondisi
serupa juga ada di dalam. Tanpa bermaksud menuduh atau menghakimi, kondisi
jomplang inilah yang memang rawan penyalah-gunaan. Yang kaya, terlalu kaya.
Yang miskin terlalu miskin. Tak ada media yang menghubungkan keduanya. Bagi
yang cermat mengikuti situasi, tentu akan tersenyum menyapa kehidupan ini. PPG
misalnya, digulirkan tak lain adalah kondisi njomplang yang harus segera di
atasi. Selangkah saja ketinggalan, fatal akibatnya. Beda kefahaman generasi
sudah sedemikian jauh. Malah, anak –anaknya pengurus (orang faham) ditengarai
banyak yang tidak faham. Bahkan keluar dari lingkungan pengajian ini. Langkah
frontal harus diambil. Dengan melibatkan semua pihak. Ringan sama dijinjing,
berat sama dipikul. Tak menyalahkan pihak –pihak lain.
Perkeling jangan memperbanyak janda,
adalah kondisi jomplang selanjutnya. Seperti pisau bermata dua. Di satu sisi
melancarakan perkawinan dan perwayuhan, tetapi di sisi lain efeknya jangan
sampai menjadi beban berkepanjangan. Menambah penderitaan orang sekitarnya. Jika
hal ini tidak teratasi, stigma jelek dipastikan mengemuka bersamanya. Walau
tidak seperti buru uceng kelangan deleg, lambat – laun tak ada yang
tahu. Kecuali, kita semua peduli dan saling mengisi. Melepas kehati – hatian di
setiap jejak langkah kaki ini.
Sebenarnya masih banyak lagi yang lain.
Daripada menepuk air di dulang, mending segera kita siapkan; kondisi apa saja
yang jomplang di sekitar kita ini? Inventory dan ambil langkah pasti untuk
menyelesaikannya. Kerjakan dulu semampu kita, sebelum mengajak yang lain.
Jangan menunggu robohnya timbangan nurani bersama.
- By Faizunal Abdillah @ Milis Jokam -
0 komentar:
Post a Comment