Eka Aris Al Rosyid

Sebuang ungkapan rasa

Njomplang

Leave a Comment

Awalnya adalah sebuah bunyi. Atau orang biasanya menyebut sebagai suara. Selanjutnya dikuantifikasi sebagai kata. Dari kata menjadi kalimat. Darinyalah kemudian terjalin sebuah komunikasi. Ada sumber, ada media, ada penerimanya. Tapi, begitu dibarengi intonasi, tekanan bunyi, gaya dan situasi yang menyertainya, maknanya bisa lain. Tergantung kuping menyimak, suasana hati dan persepsi yang dibangun. Kita bisa tersinggung dan sakit hati, atau bisa pula membenarkan dan menikmatinya. Begitulah hidup, penuh irama keinginan dan kemauan.

Ambil contoh kata njomplang, misalnya. Artinya berat sebelah atau tak seimbang. Kata ini biasa terkait dengan masalah timbangan. Kemudian berkembang secara luas untuk keadaan atau situasi yang timpang. Kala melihat pasangan suami - istri, suaminya ganteng, istrinya gak cantik (jelek), langsung dibilang jomplang. Melihat rumah bagus, tetapi penghuninya lusuh, dibilang jomplang. Itulah logika manusia. Terus berkembang, mengikuti empunya untuk mengatakan sebuah ketidakpantasan. Di sudut kehidupan yang lain, lebih banyak lagi jomplang ini.
Disuruh nimbang beras untuk rakyat miskin malah disunat. Jatah 20 kilogram ditilap tinggal 15 kilogram. Itu baru tingkat teri. Alasannya ongkos kirim. Yang bernilai milyaran lain lagi. Lebih halus mainnya. Tak usah tunai, tapi lewat bank dengan pinjam nama orang lain. Ndakik, penuh akal-akalan. Perilaku pejabat yang lain, beda lagi.  Bergaji Rp 2 – 3 juta, tapi ke kantor naik mobil pribadi. Telepon genggamnya pun ada dua, plus iPad. Satu untuk urusan dinas, satunya lagi dipakai khusus ber-asereje, tak peduli duit negara. Njomplang nuraninya.

Banyak lho, yang berpikir mumpung punya kesempatan. Ambil contoh di DPR beberapa waktu yang lalu. Sementara banyak warga hidup prihatin, di bawah garis keimiskinan, orang – orang terhormat itu berencana merenovasi toilet seharga 2 milyar. Jika dihitung per unit, jatuhnya 1 toilet seharga Rp 100 jutaan. Lebih jomplang lagi ternyata harga toilet lebih murah daripada harga sebuah kalender. Para wakil rakyat yang hebat – hebat itu, mencetak kalender dengan harga ratusan ribu rupiah. Tepatnya berkisar di angka Rp 116 ribu per kalender. Total Rp 1,3 M. Mending fotonya berisi potret keberhasilan. Isinya cuma foto - foto ketua dan wakil ketua DPR saja. Banggarnya pun tak mau kalah, menyulap ruang sidang dengan nilai yang mengejutkan. BURT DPR itu menganggarkan renovasi ruang sidang sebesar Rp 20 M. Apa benar hal itu dibutuhkan? Apa benar sebegitu mahalnya? Atau hanya akal-akalan? Benar – benar potret kehidupan yang sungguh njomplang. Tak bisa dimengerti akal sehat. Artinya memang banyak yang tidak waras, sehingga keadaan ini bisa berjalan.

Inilah penyakit zaman, kata sebagian orang. Kenapa? Karena bisa menular. Layaknya sebuah penyakit sebenarnya. Dari satu ke yang lainnya. Yang lain lagi bilang; jaman edan. Dan tak salah, Kanjeng Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan; ”Kalian akan mengikuti jejak langkah umat – umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga jikalau mereka masuk ke lobang biawakpun, kalian akan mengikuti mereka.” (Rowahu Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri ra.) Jadi tidak usah heran , jika kondisi seperti ini hampir ada di semua lini. Gak di pusat gak di daerah. Sami mawon. Sebab kondisi yang memang njomplang.

Dari Abu Huroiroh ra, dia berkata; 
”Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ”Umatku akan ditimpa penyakit – penyakit yang pernah menimpa umat – umat dahulu.” Sahabat bertanya; ”Apakah penyakit-penyakit umat –umat terdahulu itu?” Nabi SAW menjawab; ”Penyakit – penyakit itu ialah terlalu pongah (sombong), terlalu mewah, mengumpulkan harta sebanyak mungkin, tipu – menipu dalam merebut harta benda dunia, saling memarahi, dengki – mendengki sehingga jadi dholim – mendholimi.”
(Rowahu Hakim)

Alih – alih mengarahkan telunjuk keluar, alangkah baiknya kita berkaca dengan seksama. Jangan – jangan kondisi serupa juga ada di dalam. Tanpa bermaksud menuduh atau menghakimi, kondisi jomplang inilah yang memang rawan penyalah-gunaan. Yang kaya, terlalu kaya. Yang miskin terlalu miskin. Tak ada media yang menghubungkan keduanya. Bagi yang cermat mengikuti situasi, tentu akan tersenyum menyapa kehidupan ini. PPG misalnya, digulirkan tak lain adalah kondisi njomplang yang harus segera di atasi. Selangkah saja ketinggalan, fatal akibatnya. Beda kefahaman generasi sudah sedemikian jauh. Malah, anak –anaknya pengurus (orang faham) ditengarai banyak yang tidak faham. Bahkan keluar dari lingkungan pengajian ini. Langkah frontal harus diambil. Dengan melibatkan semua pihak. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Tak menyalahkan pihak –pihak lain.

Perkeling jangan memperbanyak janda, adalah kondisi jomplang selanjutnya. Seperti pisau bermata dua. Di satu sisi melancarakan perkawinan dan perwayuhan, tetapi di sisi lain efeknya jangan sampai menjadi beban berkepanjangan. Menambah penderitaan orang sekitarnya.   Jika hal ini tidak teratasi, stigma jelek dipastikan mengemuka bersamanya. Walau tidak seperti buru uceng kelangan deleg, lambat – laun tak ada yang tahu. Kecuali, kita semua peduli dan saling mengisi. Melepas kehati – hatian di setiap jejak langkah kaki ini.

Sebenarnya masih banyak lagi yang lain. Daripada menepuk air di dulang, mending segera kita siapkan; kondisi apa saja yang jomplang di sekitar kita ini? Inventory dan ambil langkah pasti untuk menyelesaikannya. Kerjakan dulu semampu kita, sebelum mengajak yang lain. Jangan menunggu robohnya timbangan nurani bersama.


- By Faizunal Abdillah @ Milis Jokam -
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 komentar:

Post a Comment