CINTA LAKI-LAKI BIASA
Menjelang
hari H, Denia masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah
dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui,
gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan
menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan
teman-teman Denia. Mereka ternyata sama herannya. Kenapa? Tanya mereka di hari Denia
mengantarkan surat undangan.
Saat
itu teman-teman baik Denia sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang
yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata
tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba
saja pipi Denia bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon
limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di
otak melebihi kapasitas. Mulut Denia terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada
apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan?
menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu
gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan
spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus
adalah kali kedua Denia yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama
terjadi tiga bulan lalu saat Denia menyampaikan keinginan Rafli untuk
melamarnya. Arisan keluarga Denia dianggap momen yang tepat karena semua
berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah
berkeluarga membawa serta buntut mereka.
”Kamu pasti bercanda!”
Denia
kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul
senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama
membuat Denia menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Denia bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Denia yang balita
melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Denia!
”Denia serius!” tegasnya sambil
menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.
”Tidak ada yang lucu”, suara Papa tegas, ”Papa
hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!”
Denia
tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik.
Perkiraan Denia tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata
kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang
pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
”Tapi Denia tidak serius dengan Rafli, kan?”
Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa,
”Maksud Mama siapa saja boleh datang melamar
siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?”
Denia terkesima. ”Kenapa?”
”Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik. Sebab
kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai
lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi.
Suaramu bagus! Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar
insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Denia sayang, kamu bisa mendapatkan
laki-laki manapun yang kamu mau!”
Denia
memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan
terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata
'kenapa' yang barusan Denia lontarkan.
”Denia Cuma mau Rafli”, sahutnya pendek
dengan airmata mengambang di kelopak.
Hari
itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak
menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.
Tapi kenapa?
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari
keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan
dan gaji yg amat sangat biasa.
Bergantian tiga saudara tua Denia mencoba
membuka matanya. Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Denia!
Cukup!
Denia menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Denia menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya
Denia lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Denia
memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan
data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Denia Cuma punya
idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Denia menapaki hidup hingga
umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Denia bahagia.
Mereka akhirnya menikah.
***
Setahun
pernikahan. Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering
berbisik-bisik di belakang Denia, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli.
Jeleknya, Denia masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli
agar tampak di mata mereka.
Denia
hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Denia bisa
merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Denia.
Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.Tidak ada lelaki
yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Denia.
Nada suara Denia tegas, mantap, tanpa
keraguan. Ketiga saudara Denia hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak
percaya.
”Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu!
Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami
yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!”
Denia merasa lidahnya kelu. Hatinya siap
memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan
Rafli. Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
”Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!”
”Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?”
”Rafli juga pintar!”
”Tidak sepintarmu, Denia”.
”Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.”
”Hanya lumayan, Denia. Bukan sukses. Tidak
sepertimu.” Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa
adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
”Lihat hidupmu, Denia. Lalu lihat Rafli! Kamu
sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu”. Teganya
kakak-kakak Denia mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan
sebentar lagi punya anak.
Ketika
lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Denia dan
Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya
menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak.
Padahal itu tidak perlu sebab gaji Denia lebih dari cukup untuk hidup senang.
Tak apa, kata lelaki itu, ketika Denia memintanya untuk tidak terlalu memforsir
diri.
”Gaji Denia cukup, maksud Denia jika
digabungkan dengan gaji Abang”. Denia tak bermaksud menyinggung hati lelaki
itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa
menangkap hanya maksud baik.
’Sebaiknya Denia tabungkan saja, untuk
jaga-jaga. Ya?’ Lalu dia mengelus pipi Denia dan mendaratkan kecupan lembut.
Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Denia
cerah.
Inilah hidup yang diimpikan banyak orang.
Bahagia! Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa,
dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang
amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Denia. Sebab ketika bahagia,
alasan-alasan menjadi tidak penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Denia
di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Denia besar,
anak-anak pintar dan lucu, dan Denia memiliki suami terbaik di dunia. Hidup
perempuan itu berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Denia dan
Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik
tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Denia, bisik Papa dan Mama.
”Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya! Tak imbang!”
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi.
Sekarang pun masih, tapi Denia belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh
dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Denia masih
belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Denia mengandung yang
ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Denia, atau
membuat Denia menangis.
***
Bayi yang dikandung Denia tidak juga mau
keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya. ”Plasenta kamu sudah
berbintik-bintik. Sudah tua, Denia. Harus segera dikeluarkan!”
Mula-mula dokter kandungan langganan Denia
memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Denia. Obat itu akan menimbulkan
kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika
semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.
Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Denia
di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke
kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak
serta orangtua Denia belum satu pun yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan,
delapan jam setelah obat pertama, Denia tak menunjukkan tanda-tanda akan
melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Denia per lima menit, lalu
tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.
Baru pembukaan satu. Belum ada perubahan, ”Bu.
Sudah bertambah sedikit”, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan
harapan.
”Sekarang pembukaan satu lebih sedikit”. Denia
dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki
sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Denia baru pembukaan
dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak
bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah.
Perkiraan mereka meleset.
”Masih pembukaan dua, Pak!” Rafli tercengang.
Cemas. Denia tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi
ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi
pun bisa ditelannya.
”Bang?” Rafli termangu. Iba hatinya melihat
sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
”Dokter?”
”Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit
tali pusar.”Mungkin? Rafli dan Denia berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau
begitu? Bagaimana jika terlambat?
Mereka berpandangan, Denia berusaha mengusir
kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya
hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Denia digiring ke
ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa
menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Denia merasa
berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya
naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan
di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia
tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar
Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Denia
mendekat. ”Pendarahan hebat!”
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang
meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan
entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Denia dalam kondisi kritis.
Mama Denia yang baru tiba, menangis. Papa
termangu lama sekali. Saudara-saudara Denia menyimpan isak, sambil menenangkan
orangtua mereka.
Rafli seperti berada dalam atmosfer yang
berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di
pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat
seperti kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Denia.
***
Sudah
seminggu lebih Denia koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke
rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Denia dan juga anak-anak. Terutama
anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya
sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh
membawanya pulang.
Mama,
Papa, dan ketiga saudara Denia terkadang ikut menunggui Denia di rumah sakit,
sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak,
mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Denia dengan Rafli.
Lelaki
itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali
untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli
bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor
tidak perlu diragukan.
Begitulah
Rafli menjaga Denia siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya
dekat telinga Denia yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung
lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan
penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..
Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Denia
bisa merasakan kehadirannya.
”Denia, bangun, Cinta?” Kata-kata itu
dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya
yang cantik.
Ketika
sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk
pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Denia
sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan
buku-buku kesukaan Denia ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan.
Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik, ”Denia,
bangun, Cinta?”
Malam-malam
penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Denia sadar,
yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata
kekasihnya, senyum di bibir Denia, semua yang menjadi sumber semangat bagi
orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.
Rumah
mereka tak sama tanpa kehadiran Denia. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu
Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau
badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.
Ia ingin melihat Denia lagi dan semua
antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta
gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Denia sudah tidur terlalu
lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli
terjawab. Denia sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap
matanya. Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Denia dan
mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata
yang meleleh.
Asalkan Denia sadar, semua tak penting lagi.
Rafli
membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa
itu tak pernah lelah merawat Denia selama sebelas tahun terakhir. Memandikan
dan menyuapi Denia, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap
sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong
Denia ke teras, melihat senja datang sambil memangku Denia seperti remaja
belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika
malam Rafli mendandani Denia agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun
tidur. Ia ingin Denia selalu merasa cantik. Meski seringkali Denia mengatakan itu
tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi
Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Denia,
membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna
di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap
hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu
pula dia selalu menyertakan Denia. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop,
rekreasi ke manapun Denia harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan
hal yang sama, selalu melibatkan Denia. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya
tentu Denia sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya.
Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat
mendorong kursi roda Denia ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara
wajahnya yang bermanik keringat.
Lalu
berangsur Denia menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga
tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Denia tak puas hanya memberi
pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
”Baik banget suaminya! Lelaki lain mungkin
sudah cari perempuan kedua!”
”Denia beruntung! Ya, memiliki seseorang yang
menerima dia apa adanya”.
”Tidak, tidak cuma menerima apa adanya,
kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah
bermuka masam!”
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya
yang tiga orang, Papa dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat
membuat Denia makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Denia menyadari
itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik,
barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu
kini berbeda bunyi?
Dari teras Denia menyaksikan anak-anaknya
bermain basket dengan ayah mereka..Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat
kocak permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Denia
menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang
mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya
tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski
karir telah direbut takdir dari tangannya.
Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar
biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Denia.
Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..
- Asma Nadia -
0 komentar:
Post a Comment