Eka Aris Al Rosyid

Sebuang ungkapan rasa

Naga Di Tanah Jatayu

Leave a Comment

Letih, lapar, haus, terluka, dan sendiri jauh dari kaumku Naga Akasha, dan tanahku Sarpaloka. Akupun tersenyum getir, setengah mengejek nasibku, Naga muda, di tanah para Jatayu, musuh kami bangsa Naga.

Belum genap satu dithe yang lalu aku mangikuti ritual khuren, ritual bagi kaum Naga yang menginjak usia lima belas Saka. Puncaknya adalah persembahan hadiah dari kami naga muda untuk para guru. Dan aku, Anantasaka, yang terlahir sebagai putra Sang Anantareja -pemimpin kaum Naga Akasha-, cucu sang Anantaboga -leluhur bangsa Naga-, ingin persembahan istimewa untuk guruku yang tak lain adalah ayahku.

Aku tidak ingin seperti naga muda - naga muda lain, yang mempersembahkan kulit Singhakumala, tulang Simaweshi, ataupun batu Pusthika. Aku ingin mempersembahkan hadiah yang belum pernah Naga muda manapun persembahkan, yaitu daun dan buah Dewandaru. Menurut legenda, ramuan daun Dewandaru yang dicampur getah dari buahnya dapat menutup dan menghentikan semua luka, serta meyembuhkan semua racun dalam sekejap mata. Namun untuk mendapatkannya dibutuhkan keberanian atau lebih tepatnya kenekatan, kebodohan dan kecerobohan, karena Dewandaru yang akarnya menghujam jauh ke dalam Hyang Bhumi hanya tumbuh di tanah permukaan Girikliyang, tempat bangsa Jatayu bermukim.

Bangsa Jatayu, para penguasa langit, tuan dari Hyang Bayu telah membantai ribuan Naga -Jantan maupun Betina, bocah ataupun sepuh- hanya karena tak ingin mendiami dan berbagi keindahan Girikliyang dengan kami, yang dari pinggang ke atas bertubuh Manuu dan dari pinggang ke bawah bertubuh Sarpa -ular-. Wujud kami inilah yang mereka anggap menjijikkan. Selain itu, seluruh tubuh kami terlindungi oleh sisik-sisik sekeras karang yang tak dapat ditembus ataupun dilukai oleh senjata apapun. Namun sayangnya, bangsa Jatayu menguasai sebuah ajian yang disebut Bayusayakha -panah angin- yang dapat dengan mudah menembus sela-sela sisik kami. Sebaliknya, tak ada satu senjata dan ajian kami yang bisa melukai para Jatayu hingga parah. Setiap luka yang kami berikan pada tubuh Jatayu akan segera merapat dan menutup, tanpa pernah menjadi parah.

Ukh…” Dengan perlahan, terus kupaksakan tubuh ini melata kembali ke Dwarapratala, menyisakan jejak hitam darahku yang tercecer, sementara kedua tanganku menggenggam daun dan buah Dewandaru yang berhasil kupetik, atau tepatnya kucuri. Hingga akhirnya aku berhenti di sebuah telaga jernih, yang airnya berasal dari sela-sela akar sebuah pohon aneh, yang meluber menganak-sungai, mengalir menuju Sembhalun, kota utama bangsa Jatayu. Kuletakkan daun dan buah Dewandaru, kutangkupkan kedua telapak tanganku lalu kucelupkan dalam beningnya telaga. Seteguk demi seteguk air telaga membasahi kerongkonganku.

Akkhhhh….” Airnya jauh lebih segar daripada air yang biasa kuminum di Sarpaloka.

Setelah dahagaku terpuaskan, perlahan ku-melata menuju sisi lain pohon ini yang tidak memunculkan mata air. Setelah meletakkan hasil curianku, kupejamkan mata, kurapal mantra Hyang Bhumi.

Tanpa henti, sebagai tuan dari Hyang Bhumi, kurapal mantra Ajian Lebur Bhumi Sakheti, berharap tanah terkutuk ini -yang hijau disesaki sesuatu yang menurut cerita kakekku disebut rerumputan, suket atau apalah namanya, yang baru kali ini kulihat- mau bermurah memberikan sedikit perlindunganya padaku, menyembuhkan luka-lukaku akibat sisik-sisik yang tercabut, menghilangkan sakit di sekujur tubuhku, akibat pukulan dan tendangan Jatayu semalam -seorang Garuda dan beberapa Sempati pengawalnya serta puluhan Jatayu Alit. Namun, tanah terkutuk ini -yang menurut guru-guru Naga, sedalam sepuluh tombak telah ternodai mantra kotor para pemantra Jatayu, Mantra Bayu Bala’ Bhumi- tetap menolak untuk patuh padaku.

Hyang Bhumi, kumohon, berilah sedikit perlindungamu” ucapku memelas.

Terkonsentrasi pada merapal mantra, tanpa kusadari, tersamarkan kabut tebal -saat ini memang bulan Kadestha, bulan kesebelas dalam satu Saka pada penanggalan kami, Naga dan Jatayu, saatnya Girikliyang mengalami musim sejuk kabut, tidak seperti tempat tinggalku di Sarpaloka, yang selalu berkabut sepanjang Saka-, di bawah temaram cahaya Hyang Soma, sepasang mata dari sesosok Jatayu terus mengawasiku dalam kebisuannya yang berbalut kesunyian malam, dari balik rimbunnya percabangan pohon ini.

Dan tiba-tiba, wush... ia menapak dengan ringan pada rerumputan di hadapanku. Matanya tajam merah menyala dan sayap-merahnya melingkar kokoh menutupi sekujur tubuhnya, pergelangan tangannya berhiaskan gelang emas berukirkan tanda kebesaran Jatayu, menandakan ia bukan Jatayu biasa. Ia seorang Garuda, kasta tertinggi dalam bangsa Jatayu, kaum bangsawan. Kasta yang secara turun temurun akan menjadi raja dari tiga kasta Jatayu lainnya -Aruna, Sempati dan Jatayu Alit.

Demi melihat kehadiranya, ditambah gelang yang digunakannya sama dengan Garuda yang menangkapku, aku langsung siaga, siap merapal Ajian Tameng Bhumi, lupa jika tanah yang kupijak menolakku.

Tenanglah Naga muda, aku tak berniat jahat padamu. Bisa saja kau kubunuh, tanpa perlu menampakkan diri dan mendekatimu, bukan?”, ujarnya sambil tersenyum.

Kata-katanya benar juga. Jika ia berniat jahat, tentunya dengan mudah ia dapat membunuhku, cukup dengan Ajian Bayusayakha.

Aku hanya ingin membantumu ke Dwarapratala. Aku tak ingin lagi melihat darah Naga membasahi Girikliyang” ucapnya meyakinkanku sembari berjalan menghampiriku.

Boleh kulihat lukamu? Dan siapa namamu Naga muda?” tanyanya untuk mencairkan suasana.

A... Ananta...saka” jawabku.

Ananta? Hmm... Kau pasti bukan Naga biasa, karena gelar tersebut hanya diberikan pada keluarga utama bangsa Naga. Siapa engkau sesungguhnya?” tanyanya.

Haruskah aku berkata jujur pada Jatayu ini, ataukah aku sembunyikan saja identitasku. Akh.. baiklah, akan ku ceritakan siapa aku sebenarnya. Jika ia benar-benar berniat menolongku, setidaknya ia mengetahui bahwa pertolongannya akan disambut segenap bangsaku. Dan jika memang ia berniat membunuhku atau menangkapku, setidaknya ia mengetahui bahwa perbuatannya akan menyulut pembalasan seluruh bangsaku.

Aku putra sang Anantareja, pemimpi kaum Naga Akasha” ujarku percaya diri.

Keponakan sang Anantasena dan sang Anantasura, pemimpin kaum Naga Samodra dan Naga Bhumi, serta cucu sang Anantaboga, leluhur bangsa Naga” lanjutku, berharap nama-nama tersebut akan membuatnya berpikir seribu kali lagi jika hendak menyakitiku.

Ah... ternyata seorang Nagasutha, calon pemimpin kaum Naga”.

Untunglah para pengejarmu tidak mengetahui identitasmu. Jika mereka tahu, aku yakin mereka akan menggunakanmu sebagai umpan, agar seluruh keluargamu keluar dari Sarpaloka, dan mengulangi pembantaian bangsa Naga

Dan.. untuk apakah seorang Naga muda sepertimu berada di permukaan Girikliyang?” tanyanya.

Apakah kaummu tidak pernah menceritakan permusuhan antar bangsa kita, heh..?”.

Aku mencari daun dan buah Dewandaru untuk ayahku”.

Hmm, apakah ayahmu terluka?”

Iya, benar

Ia terluka sejak lima belas saka yang lalu, saat kalian membantai dan mengusir bangsaku”. Ia mendengarkan ceritaku sambil memeriksa luka-lukaku.

Saat itu, dalam pelariannya menuju Pratala -dasar dunia-, ayah berusaha melindungi ibu yang sedang mengandungku dari kejaran bangsamu. Sayangnya, sesampainya di Dwarapratala, jurang menuju dasar dunia, akh kau tentunya tahu, ayah dihadang Jatayu bernama Garuda, dan aku yakin dia adalah leluhurmu, kasta Garuda”.

Auw, pelan-pelan kisanak” ujarku spontan saat ia menyentuh sisik-sisikku yang tercabut.

Oh maaf. Aku hanya ingin tahu sedalam apa lukamu” ujarnya menyesal.

Teruskan ceritamu”.

Aku menarik napas, ku coba mengingat-ingat kembali kisah yang sering diperdengarkan ibu.

Saat itu, terjadi pertarungan yang sangat sengit antara tuan Hyang Bayu melawan tuan Hyang Bhumi. Pertarungan mereka berdua berjalan berimbang, meskipun ayah lebih banyak bertahan, karena tak ingin meninggalkan perlindungannya pada ibu”.

Namun sayang, kalian para Jatayu tidak bersikap ksatria. Ayah yang seorang diri, dengan beban melindungi ibu, dihajar habis-habisan oleh sepuluh Jatayu. Hingga akhirnya ayah terdesak mundur. Sambil membopong tubuh ibu yang hampir melahirkanku, ayah melata memasuki Dwarapratala, mengakibatkan perlindungannya terbuka, dan si Garuda licik langsung merapal Ajian Bayusayakha Mukti, dimana pada ujung panah anginnya terdapat sebentuk logam tak beraturan berwarna emas”.

Menurut ibu, ayah menyadari bahaya yang mengancamnya, namun ia lebih memilih menggunakan tubuhnya sebagai tameng untuk ibu. Hingga ayahpun terluka di sisi kiri tubuhnya, yang mana luka itu hingga kini tak kunjung sembuh, dan setiap malam ayah merasakan lukanya teramat panas. Menurut kakek, itu dikarenakan oleh racun Bayusayakha Mukti”. Aku mengakhiri ceritaku.

Saka, aku turut prihatin dengan keadaan ayahmu”.

Ketahuilah, Jatayu bernama Garuda yang melukai ayahmu adalah ayahku”. Pengakuannya mengejutkanku.

Dan aku adalah Garuda Isyana, putra pertama Garuda. Dan Jatayu yang menangkap dan menyiksamu adalah adikku, Garuda Indra. Saka, aku mohon maaf atas perlakuan keluargaku padamu”. Ucapannya terdengar tulus.

Aku hanya terdiam mendengar pengakuannya. Terkejut atas pengakuan yang tidak kusangka-sangka ini.

Aku akan mengantarmu menuju Dwarapratala” ujarnya memecah keheningan yang tercipta usai pengakuannya.

Namun kita harus menyembuhkan lukamu terlebih dahulu”. Setelah berujar demikian ia menyayat telapak tangan kirinya menggunakan sebuah lempengan tak berbentuk berwarna emas, yang wujudnya seperti... cangkang telur.

Aku terus mengawasinya dengan takut dan takjub karena lukanya tidak segera menutup, sebagaimana seharusnya. Akibatnya, darah segar berwarna merah menyala menetes dari sayatan tersebut, dan ditampungnya di lipatan daun Dewadaru curianku.

Melihatku keheranan, iapun berujar “lempengan emas ini adalah cangkang telurku dulu. Kami, dapat terluka parah tanpa bisa tersembuhkan, kecuali dengan ramuan daun Dewandaru bercampur getah buahnya, hanya jika kami dilukai menggunakan cangkang telur kami”.

Cangkang telur kami akan mengakibatkan luka dan keracunan yang parah bagi bangsa lain, dan cangkang telur ayahku lah yang melukai dan meracuni ayahmu, maaf”.

Minumlah! Niscaya lukamu akan sembuh” perintahnya sambil menyodorkan lipatan daun Dewandaru berisi darahnya.

“Tapi..”

Ayo cepatlah, kita tidak memiliki banyak waktu. Sebentar lagi Indra beserta para Gardapathi-nya akan segera menyusul kita”. Ujarnya meyakinkanku.

Dengan sedikit rasa enggan ku terima darah segar itu. Perlahan ku dekatkan ke mulutku, kuhisap dan kubiarkan mengalir seteguk demi seteguk melewati tenggorokanku. Manis terasa di lidahku, wangi tercium di hidungku, tubuhku serasa melayang bebas, sebuah sensasi baru yang belum pernah kurasakan.

Namun, sesaat kemudian, detak jantungku perlahan makin cepat dan aliran darahku pun menggila. Sekujur tubuhku terasa panas membara, bagaikan terpanggang Hyang Arka. Kulit di bawah sisikku perih. Kepalaku sakit, mataku pedih memerah. Pandanganku buram membayang.

Ka.... kau menipuku! Terkutuklah eng.. engkau” ujarku terbata-bata, karena panik dan juga kesakitan.

Kau ingin me.. membunuhku dengan cara meracc...”, namun, belum terselesaikan ucapanku, tiba-tiba seluruh ototku kaku, mengeras dan membatu, dari ujung ekor hingga kepala, menyisakan dua mata ini yang bebas memandang, nanar.

Mataku merembeskan butir-butir air mata. Menyesali kebodohanku, mempercayai seorang Jatayu. Menyesali keputusanku, meninggalkan perlindungan Hyang Bhumi, menapaki tanah kotor para Jatayu. Menyesali kesombongan dan kecerobohanku, pergi tanpa pamit.

Ayah, ibu maafkan aku, selamat tinggal”, ujarku dalam hati.

Kutatap wajah pembunuhku lekat-lekat, ia tetap terdiam, tak menanggapi ucapanku. Dalam samar terlihat ia mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Sayup-sayup terdengar rapalan mantra, yang terdengar seperti mantra Hyang Bhumi. Ya.. tak salah lagi, ini mantra Hyang Bhumi, namun dengan beberapa perubahan. Tapi.. tapi bagaimana mungkin Jatayu bisa menjadi tuan dari Hyang Bhumi. Bukankah.... Hyang Bhumi hanya patuh dan tunduk pada kami, para Naga.

Kebencianku padanya dan juga seluruh bangsanya, semakin bertambah. Bangsanya yang telah membantai ribuan bangsaku, mengusir sisa-sisa bangsaku ke Pratala, menjauhkan kami dari hangatnya Hyang Arka, melukai dan meracuni ayahku, dan kini ia mencuri perlindungan Hyang Bhumi dari kami.

Saat rasa sakit disekujur tubuhku mulai mereda, tiba-tiba segerombolan Jatayu turun menapak dengan lembut di sekeliling kami.

Ha ha ha. Syukurlah Kanda Isyana, kau telah berhasil menangkapnya” ujar salah seorang dari gerombolan tadi. Dan dapat kupastikan, ialah yang menangkapku semalam. Ialah Garuda Indra, putra kedua Garuda.

Aku dan Gardapathi-ku tak perlu bersusah payah untuk menemukannya. Bahkan kau telah melumpuhkannya dengan Mantra Hyang Bhumi milikmu”.

Maaf Dinda Indra, apakah yang hendak kau perbuat terhadapnya?

Tidak cukupkah perlakuanmu padanya semalam?” Tanya Isyana sedikit membelaku.

Kanda..Isyana !!! jangan katakan kalau kau menaruh kasihan pada mahluk purba tak beradab yang menjijikkan ini” ucap Indra.

Akan ku siksa ia hingga mati, hingga tubuhnya yang menjijikkan ini tak bebentuk lagi, lalu ku lempar ke Dwarapratala, agar Naga-naga di Sarpaloka berpikir seribu kali lagi jika ingin melata ke tanah suci Girikliyang” ujarnya tanpa perasaan.

Dinda Indra, telah banyak nyawa bangsa Naga yang telah kita cabut sia-sia. Izinkanlah naga muda ini kembali ke dunianya” bujuk Isyana kepada adiknya.

Aku tak dapat melepaskannya. Mereka para Naga diciptakan hanya untuk menjadi buruan kita bangsa Jatayu. Mereka hanya mahluk tingkat rendah, jauh lebih rendah dari Kasta Jatayu Alit, nyawa mereka tak berarti apa-apa” Indra menimpali kakaknya.

Jika memang demikian, aku tak dapat membiarkanmu dinda Indra

Kanda Isyana!!

Ingat siapa dirimu Kanda. Kau adalah putra pertama Sang Garuda. Kau adalah calon penerus kepemimpinan Wangsa Garuda, calon pemimpin bangsa Jatayu”.

Tidak sepantasnya kau menunjukkan sifat lemah. Tidak sepatutnya kau mengasihi mahluk hina ini”.

Kalian berdua, tangkap Naga hina itu” perintah Indra lantang kepada dua Sempati Gardapathi-nya.

Stop!! ujar Isyana mencegah sembari berdiri menghadang dua Sempati Gardapathi Indra.

Naga ini dalam perlindunganku. Jika kalian menyakitinya, sama artinya kalian melawanku” ujar Isyana berwibawa.

Kedua Sempati itupun terlihat ragu-ragu, saling memandang, lalu menoleh kepada Indra.

Bodoh!!! Kalian adalah Gardapathi-ku. Kalian harus menuruti semua perintahku, bahkan saat aku meminta kalian mencabut nyawa kalian sekalipun” umpat Indra.

Tapi tuan…., ia putra pertama Sang Garuda, ia seorang Garudasutha” ujar salah seorang Sempati mencoba membela diri.

Baiklah jika begitu” ujar Indra melunak sambil tersenyum licik.

Lalu dengan tiba-tiba, ia meletakkan telapak tangan kirinya di pundak kanannya dan mengayunkan tangan kanannya secepat kilat, dan berujar lantang.

Ajian Bayusastrikha!!

Seketika itu juga, sekelebat angin berhembus kuat sesaat, namun akibatnya sungguh di luar dugaanku. Dua Sempati Gardapathi Indra yang meragukan perintahnya terjerembab ke tanah, berlumuran darah, dengan kepala terpenggal.

Masih adakah di antara kalian yang meragukan perintahku?’ tanyanya kepada delapan Sempati yang tersisa.

Mereka, kedelapan Sempati -bangsa Jatayu kasta ketiga, dengan tubuh paling kekar di antara kasta-kasta yang lain, bermata, bersayap dan berkuku hitam- yang tersisa diam membisu, menandakan kepatuhan mutlak mereka kepada Indra.

Bagus! Sekarang tangkap naga sialan itu. Habisi siapapun yang menghalangi kalian, kakakku sekalipun” perintahnya.

Kedelapan Sempati itupun maju serentak, mengelilingiku dan Isyana, dengan sikap siaga.

Dinda Indra! Kau ingin kita sesama Jatayu saling menumpahkan darah hah?

Maaf kanda. Engkau telah menentukan pilihan untuk melindungi naga itu, berarti engkau telah menentang leluhur kita, yang sejak lima belas saka lalu telah memilih memusuhi mahluk ini”

Dan satu lagi Kanda. Selama ini aku muak selalu menjadi nomor dua di belakangmu. Padahal jika dibandingkan, kemampuan ilmu kanuragan dan Ilmu ketatanegaraan-ku tak tertinggal darimu. Namun, engkau memiliki kelemahan untuk menjadi seorang pemimpin besar kanda, yaitu sifat welasmu”.

Apa maksudmu Dinda Indra? Apakah kau menginginkan statusku sebagai Garudasutha?”

Kalau memang demikian yang kau inginkan, aku akan meminta pada ayah, untuk mencabut statusku dan memberikannya padamu, asalkan kau lepaskan Naga muda ini” bujuk Isyana pada adiknya.

Ha....ha...ha.... Kanda-kanda.., aku tak membutuhkan belas kasihanmu untuk mendapatkan status Garudasutha

Saat ini, di tempat ini, akan kurebut status tersebut darimu, yang kini telah berkhianat pada bangsa Jatayu dengan melindungi musuh kita, Naga

Bunuh keduanya!!” perintah Indra kepada kedelapan Sempati-nya.

Stop” Isyana berusaha menghentikan kedelapan Gardapathi adiknya.

Aku tak ingin melukai kalian” tambahnya.

Apalagi yang kalian tunggu? Tolol!. Atau kalian ingin bernasib seperti dua Sempati bodoh ini” ujar Indra menghardik kasar sembari menunjuk jasad dua Sempatinya yang telah tewas.

Ahirnya, kedelapan Sempati yang tersisa langsung menyerang Isyana menggunakan astra -senjata- masing-masing. Dikarenakan Sempati bukanlah pemantra yang handal, mereka lebih memilih bertarung menggunakan astra.

Dengan tangan kiri merapal Ajian Tameng Bayu untuk melindungiku dan mengembalikan kibasan sastrikha -pedang- para Sempati, Isyana merapal Ajian Bayusastrikha untuk menyerang balik para Sempati. Akibatnya dua orang Sempati sekaligus jatuh tersungkur dengan kaki, tangan dan sayap terpenggal.

Maaf, aku terpaksa melumpuhkan kalian” ujar Isyana.

Serangan keenam Sempati yang tersisa semakin gencar. Dari berbagai arah mereka menyerang Isyana. Dari kiri, kanan, dari depan, belakang bahkan dari atas, namun Isyana selalu berhasil mengelak dan melindungiku.

Sembari menangkis dan sesekali membalas serang para Sempati pengeroyoknya, Isyana memintaku melata menjauhi medan pertarungan menuju Dwarapratala. Sedikit demi sedikit, di bawah perlindungan Isyana. akhirnya kami mencapai sebuah tepian jurang yang dasarnya tak nampak, inilah Dwarapratala. Di sini, tanahnya masih mau tunduk dan patuh padaku,

Hiat” seorang Sempati melompat mengayunkan sastrikha-nya ke arah kepala Isyana. Dengan sedikit gerakan mengelak, Isyana berhasil menghindar, dan Sempati ini pun ku sambut dengan Ajian Tapak Bhumi, membuatnya terpental ke belakang beberapa tombak, lalu tersungkur tak sadarkan diri.

Lumayan” ujarku dalam hati. Penyerang kami kini tinggal lima Sempati dan Indra seorang.

Cukup ! Mudur kalian” tiba-tiba Indra berteriak.

Kanda, maaf, benar katamu tadi, tak ada gunanya kita menumpahkan darah sesama Jatayu hanya karena naga brengsek ini”.

Aku bersedia melepaskannya, dan juga memafkan kesalahanmu membelanya dengan satu syarat

Apakah itu Dinda?” tanya Isyana Penasaran.

Berikan statusmu sebagai Garudasutha padaku dan serahkan cangkang telurmu”.

Isyana terlihat ragu.

Tenang saja, ini hanya kugunakan sebagai jaminan bahwa kau tak akan menentangku kelak, saat aku telah menjadi Garudasutha”.

Ayolah, kita kan bersaudara, dan aku mohon maaf atas ketidaksabaranku tadi” bujuk Indra pada Isyana.

Hmm..Baiklah, sekembalinya kita ke Sembhalun, akan ku sampaikan pada ayah kita, bahwa aku mundur sebagai Garudasutha dan memilih manjadi pandita, sehingga engkau akan ditunjuk untuk menggantikanku”.

Dan ini..., cangkang telurku. Berjanjilah bahwa kau akan menjaganya baik-baik, agar tak ada yang menyalahgunakannya” pinta Isyana sembari memberikan cangkangnya.

“Aku bersumpah atas nama ayah kita, akan kujaga cangkangmu, sebagaimana aku menjaga cangkangku sendiri” Indra bersumpah pada kakaknya.

Baiklah Saka, mari kuantar kau menemui keluargamu

Tapi..kisanak, tidakkah engkau takut memasuki dunia kami, musuhmu?” tanyaku meragukan ajakannya.

Untuk apa aku takut? Toh aku tak berbuat jahat padamu” jawabnya.

Disaat Isyana membimbingku melata menyusuri pinggirian Dwarapratala, tanpa kami sadari, kelima Sempati yang tersisa membidikkan sayakha-nya padaku sedangkan Indra merapal Ajian Bayusayakha Mukti, dengan cangkang Isyana sebagai mata panahnya.

Panah mereka!

Terlambat bagi kami berdua, di saat Isyana terkonsentrasi menghalau sayakha dari para Sempati, Bayusayakha Mukti milik Indra melesat deras ke arahku. Dengan segera, Isyana membopongku lalu mengepakkan sayapnya. Namun sayang, cangkang Isyana melesat mengoyak pundak kiri Isyana dan menancap tepat di jantungku. Kami berdua pun terjatuh melayang ke dalam Dwarapratala, dan byuuuur.... tercebur ke dalam Telaga Dhanu, tepat di tengah-tengah Sarpaloka, pemukiman utama Naga Akasha. Aku tak sadarkan diri.

********

Kini, ratusan saka sejak terpanah, aku melangkah menyusuri tepian Telaga Dhanu, dadaku yang terkoyak telah tertutup, dan bukan oleh penutup biasa, melainkan cangkang milik Isyana. Menurut cerita ayah dulu, saat itu jantungku telah hancur oleh cangkang Isyana, dan tak mungkin tertolong lagi. Demikian juga dengan Isyana, pundaknya yang terkoyak mengakibatkan sayap kirinya terkulai mati dan darah mengucur dengan derasnya tanpa henti, yang cepat atau lambat akan membunuhnya.

Dengan sisa tenaganya, Isyana mencabut cangkangnya dari dadaku, menyayat dadanya sendiri hingga terbuka, memandang sekilas pada ayah dan kakekku lalu merapal Ajian Lebur Bayu Sakheti. Ayah dan kakek faham apa maksud Isyana, dan bersama-sama merapal Ajian Lebur Bhumi Sakheti. Isyana merenggut jantungnya sendiri, memotong urat-urat sekitarnya dengan cangkangnya lalu meletakkannya dalam dadaku, setelah terlebih dahulu merenggut jantungku yang hancur. Kemudian menutup lubang di dadaku dengan cangkangnya.

Dengan mengalirnya darah Jatayu dalam tubuhnya, Anantasaka akan hidup kekal”.

Tapi, kumohon pada kalian berdua, ingatkan ia bahwa jantung dan cangkangku ini hanya titipan, hingga suatu saat kelak, keturunanku, Garuda Isyana terakhir datang memintanya kembali” ucapnya sebelum akhirnya Muksa, musnah menjadi debu keemasan, terurai terbawa angin.

Dan disinilah aku menanti, selama ratusan saka, menunggu keturunan terakhir Garuda Isyana, yang menurut ramalan akan membebaskan bangsa Naga.

Tulisan ini diikutkan dalam Fantasy Fiesta 2011

Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 komentar:

Post a Comment